Sang Perindu

aku adalah seorang musafir yang senantiasa berharap untuk segera berjumpa denganNya dan mereguk kasihNya

Quo Vadis Kampus Kita?


Judul diatas disatu sisi menyiratkan sebuah kritik terhadap apa yang sudah ada dalam kenyataan yang kita hadapi dan kita lakoni sehri-hari dan disi lain tersirat sebuah harapan dari sebuah idealisme pemikiran yang menghendaki pengejawantahan suatu kondisi yang ideal, sempurna, atau minimal lebih baik dalam sebuah dunia kampus, dalam konteks ini kampus kita. Dunia kampus selama ini memiliki citra sebagai dunia yang elit dalam hal intelektual karena disanalah lahir dan berlangsung diskursus keilmuan “tingkat tinggi” yang bahkan pelaku utamanya sudah menyandang title yang sangat meyakinkan, mahasiswa, siswa yang sudah maha, bukan lagi sekedar siswa biasa pada umumnya . Disana pula berbagai pemikiran dan studi keilmuan saling bergumul. Sejarah membuktikan, ibarat kawah candradimuka, dari dunia kampuslah para pemikir dan tokoh-tokoh besar dunia lahir. Secara otomatis nama besar kampus dimana mereka menjalani studi turut melambung. Selanjutnya dibarengi dengan meningkatnya aktifitas intelektual, lama-kelamaan kredibilitas dan kualitasnya semakin mapan. Siapa yang tidak mengenal Al-Azhar di Mesir misalnya. Selalu ada kebanggaan tersendiri jka seseorang bisa kuliah di sana. Di Indonesia kita bisa ambil contoh misalnya UGM atau UI. Sekarang mari kita coba untuk keluar dari romantisme tadi , dan mencoba menengok keadaan kampus kita, STAIN Purwokerto. Terlalu jauh mungkin kalau kita bandingkan kampus kita dengan Al-Azhar. Mungkin sebagian orang menganggapnya sebagai lelucon atau mimpi di siang bolong, meskipun sebenranya tidak mustahil. Tapi paling tidak, sebagai anak kandung yang masih dalam masa asuhan dan penggemblengan, pantas bagi kita untuk bertanya-tanya, mampukah kampus kita menjadi salah satu dari kawah-kawah candradimuka yang mampu menggodok dan melahirkan para actor sejarah dunia? Atau minimal intelektual-intelektual yang berkualitas? Saya kira ini sebuah pertanyan yang lebih membutuhkan bukti dari pada sekedar spekulasi untuk sebuah jawaban.
Momen pergantian tampuk kepemimpinan belum lama ini sedikit banyak memberikan harapan adanya perubahan bagi kampus kita untuk melangkah mejadi salah satu yang diperhitungkan dalam dunia pendidikan di tanah air. Namun tentu saja kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnnya kepada mereka sementara kita hanya sam’an wa tho’atan. Sebagai bagian yang terpisahkan bahkan aktor utama dalam kehidupan kampus, kita juga memiliki tanggung jawab yang sama untuk berusaha membawa kampus kita menjad lebih maju. Sangat tidak relevan menurut saya jika mahasiswa yang hampir dalam setiap kesempatan menyatakan dirinya sebagai agent of change (agen perubahan) merasa tidak perlu ambil bagian dan hanya berharap serta menuntut perubahan kepada birokrasi kampus. Ironisnya, ketika kampus kita terkesan biasa-biasa saja, tidak ada greget intelektualitasnya, mahasiswa cenderung menyalahkan pihak kampus dan juga dosen yang dianggap tidak kompeten lah, punya kepentingan lain lah, dan vonis-vonis lainnya. Saya tidak sedang mengatakan mahasiswa tidak boleh kritis terhadap apa yang datang dari para “pengurus” kampus. Jika mereka terbukti sewenang-wenang dan merugikan mahasiswa, sudah menjadi keharusan bagi mahasiswa untuk menuntut hak-haknya. Yang ingin saya katakan disini bahwa, akan lebih bijak ketika kita melihat kekurangan dan kelemahan kampus kita, terlebih dahulu kita berkaca pada diri sendiri. Sudahkah kita benar-benar menjadi mahasiswa dengan muatan keilmuan yang sebanding dengan title ke-maha-annya? Sudahkah kita memiliki kemampuan untuk menjadi seorang agen perubahan? Saya rasa ungkapan Socrates, seorang tokoh abadi filsafat, sangat cocok kita terapkan disini untuk menjadi bahan pelajaran bagi kita dimana ia mengatakan bahwa “seseorang yang ingin merubah dunia, terlebih dahulu ia harus merubah dirinya sendiri”. Sangat tidak lucu ketika seseorang menginginkan keadaan dimana ia berada menjadi lebih baik, sementara dirinya sendiri masih tetap dalam kondisinya yang jauh dari baik dan tetap dalam kepicikan dalam berpikir.
Butuh kerja keras dan usaha yang besar untuk bisa menjadikan kampus kita memiliki nama besar (bukan berarti sekedar tertulis dengan tulisan yang besar di pintu gerbang) tapi memiliki kualitas keilmuan yang tidak kalah dengan kampus-kampus lain atau mungkin melampauinya. Butuh keseriusan dari masing-masing civitas akademika, baik birokrat, dosen dan terutama mahasiswa, untuk bersama-sama menciptakan suatu atmosfir keilmuan yang massif jika kita menginginkan kampus kita lebih maju. Suatu eksistensi untuk bisa diakui dan benar-benar eksis, ada dua syarat yang harus dipenuhi, ia harus berbeda dan lebih baik dari yang lain. Mengapa tidak kita ciptakan satu ciri khas dari kampus kita? Menurut saya masalahnya bukan mampu atau tidaknya kita, tapi mau apa tidak?

0 komentar:

Posting Komentar

what do u think about my blog?