Sang Perindu

aku adalah seorang musafir yang senantiasa berharap untuk segera berjumpa denganNya dan mereguk kasihNya

PARA PENGHUNI SURGA



"anna al-sa'adata la tunalu illa bi al-'ilmi wal 'amal" (al-Ghazali)

tetap semangat untuk terus berjuang li i'lai kalimatillah
for our beloved islamic boarding school, ma'haduna...... "DARUSSALAM"

Quo Vadis Kampus Kita?


Judul diatas disatu sisi menyiratkan sebuah kritik terhadap apa yang sudah ada dalam kenyataan yang kita hadapi dan kita lakoni sehri-hari dan disi lain tersirat sebuah harapan dari sebuah idealisme pemikiran yang menghendaki pengejawantahan suatu kondisi yang ideal, sempurna, atau minimal lebih baik dalam sebuah dunia kampus, dalam konteks ini kampus kita. Dunia kampus selama ini memiliki citra sebagai dunia yang elit dalam hal intelektual karena disanalah lahir dan berlangsung diskursus keilmuan “tingkat tinggi” yang bahkan pelaku utamanya sudah menyandang title yang sangat meyakinkan, mahasiswa, siswa yang sudah maha, bukan lagi sekedar siswa biasa pada umumnya . Disana pula berbagai pemikiran dan studi keilmuan saling bergumul. Sejarah membuktikan, ibarat kawah candradimuka, dari dunia kampuslah para pemikir dan tokoh-tokoh besar dunia lahir. Secara otomatis nama besar kampus dimana mereka menjalani studi turut melambung. Selanjutnya dibarengi dengan meningkatnya aktifitas intelektual, lama-kelamaan kredibilitas dan kualitasnya semakin mapan. Siapa yang tidak mengenal Al-Azhar di Mesir misalnya. Selalu ada kebanggaan tersendiri jka seseorang bisa kuliah di sana. Di Indonesia kita bisa ambil contoh misalnya UGM atau UI. Sekarang mari kita coba untuk keluar dari romantisme tadi , dan mencoba menengok keadaan kampus kita, STAIN Purwokerto. Terlalu jauh mungkin kalau kita bandingkan kampus kita dengan Al-Azhar. Mungkin sebagian orang menganggapnya sebagai lelucon atau mimpi di siang bolong, meskipun sebenranya tidak mustahil. Tapi paling tidak, sebagai anak kandung yang masih dalam masa asuhan dan penggemblengan, pantas bagi kita untuk bertanya-tanya, mampukah kampus kita menjadi salah satu dari kawah-kawah candradimuka yang mampu menggodok dan melahirkan para actor sejarah dunia? Atau minimal intelektual-intelektual yang berkualitas? Saya kira ini sebuah pertanyan yang lebih membutuhkan bukti dari pada sekedar spekulasi untuk sebuah jawaban.
Momen pergantian tampuk kepemimpinan belum lama ini sedikit banyak memberikan harapan adanya perubahan bagi kampus kita untuk melangkah mejadi salah satu yang diperhitungkan dalam dunia pendidikan di tanah air. Namun tentu saja kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnnya kepada mereka sementara kita hanya sam’an wa tho’atan. Sebagai bagian yang terpisahkan bahkan aktor utama dalam kehidupan kampus, kita juga memiliki tanggung jawab yang sama untuk berusaha membawa kampus kita menjad lebih maju. Sangat tidak relevan menurut saya jika mahasiswa yang hampir dalam setiap kesempatan menyatakan dirinya sebagai agent of change (agen perubahan) merasa tidak perlu ambil bagian dan hanya berharap serta menuntut perubahan kepada birokrasi kampus. Ironisnya, ketika kampus kita terkesan biasa-biasa saja, tidak ada greget intelektualitasnya, mahasiswa cenderung menyalahkan pihak kampus dan juga dosen yang dianggap tidak kompeten lah, punya kepentingan lain lah, dan vonis-vonis lainnya. Saya tidak sedang mengatakan mahasiswa tidak boleh kritis terhadap apa yang datang dari para “pengurus” kampus. Jika mereka terbukti sewenang-wenang dan merugikan mahasiswa, sudah menjadi keharusan bagi mahasiswa untuk menuntut hak-haknya. Yang ingin saya katakan disini bahwa, akan lebih bijak ketika kita melihat kekurangan dan kelemahan kampus kita, terlebih dahulu kita berkaca pada diri sendiri. Sudahkah kita benar-benar menjadi mahasiswa dengan muatan keilmuan yang sebanding dengan title ke-maha-annya? Sudahkah kita memiliki kemampuan untuk menjadi seorang agen perubahan? Saya rasa ungkapan Socrates, seorang tokoh abadi filsafat, sangat cocok kita terapkan disini untuk menjadi bahan pelajaran bagi kita dimana ia mengatakan bahwa “seseorang yang ingin merubah dunia, terlebih dahulu ia harus merubah dirinya sendiri”. Sangat tidak lucu ketika seseorang menginginkan keadaan dimana ia berada menjadi lebih baik, sementara dirinya sendiri masih tetap dalam kondisinya yang jauh dari baik dan tetap dalam kepicikan dalam berpikir.
Butuh kerja keras dan usaha yang besar untuk bisa menjadikan kampus kita memiliki nama besar (bukan berarti sekedar tertulis dengan tulisan yang besar di pintu gerbang) tapi memiliki kualitas keilmuan yang tidak kalah dengan kampus-kampus lain atau mungkin melampauinya. Butuh keseriusan dari masing-masing civitas akademika, baik birokrat, dosen dan terutama mahasiswa, untuk bersama-sama menciptakan suatu atmosfir keilmuan yang massif jika kita menginginkan kampus kita lebih maju. Suatu eksistensi untuk bisa diakui dan benar-benar eksis, ada dua syarat yang harus dipenuhi, ia harus berbeda dan lebih baik dari yang lain. Mengapa tidak kita ciptakan satu ciri khas dari kampus kita? Menurut saya masalahnya bukan mampu atau tidaknya kita, tapi mau apa tidak?

NO MORE SANTRI GAPTEK

Sebuah refleksi pasca pelatihan santri indigo
purwokerto, 27-28 April 2010


Cukup lama dan cukup sering para santri digerahkan oleh suara-suara dan label gaptek yang disematkan pada mereka. Betapa tidak, setiap hari hanya ubek-ubek dalam pesantren, dan hanya lembaran-lembaran kitab gundul yang di orat-oret setiap hari. Punya HP? Jangan harap. Boro-boro tahu internet, yang namanya mouse computer saja tidak pernah kenal, paling banter mickey mouse. Tapi saat ini sepertinya keadaan yang mengenaskan itu mulai berangsur-angsur luntur. Para santri sudah mulai membuka pikiran dan pola pikir, sehingga secara otomatis pengetahuan mereka tentang dunia luarpun masuk ke dalam memori otak meraka. Para santri sekarang sudah terbiasa dengan teknologi. Haramkah? Insya Alloh halalan thoyyiban…. Santri tentu saja sangat tahu seperti apa etika dan norma-norma agama yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Santri modern, mungkin itulah julukan yang paling tepat bagi mereka, kaum santri yang melek teknologi, dan berpikiran maju, serta tanggap terhadap perkembangan dunia.
Never ending santri….

DIMANA PENJARA SUCI ITU?



Pondok pesantren sering dijuluki sebagai penjara suci. Dikatakan penjara karena pada umumnya dalam sebuah pesantren berlaku seperangkat aturan yang sangat ketat lengkap dengan sanksinya yang dikenal dengan istilah ta’zir. Kepatuhan santri kepada aturan mendapat prioritas yang sangat besar karena hal itu mencerminkan kepatuhannya pada sang kyai, dan patuh pada kyai berarti patuh pada aturan agama yang akhirnya berarti patuh pada Allah. Seorang santri dididik dan digembleng untuk selalu menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan aturan syariat Islam. Keyakinan akan adanya laknat dan dosa bagi pelaku maksiyat selalu ditanamkan kuat dalam hati mereka. Sehingga dengan demikian dapat menjalani kehidupan dengaan benar, meskipun kadang menjadi terasa kaku dan harus rela dicap kolot oleh sebagian orang yang menganggap dirinya modern. Kekolotan semacam ini sesungguhnya dilandasi motifasi keikhasan yang luar biasa untuk menjalani hidup semata-mata untuk beribadah kepada sang Khaliq. Prinsip nrimo sebagai penafsiran dari ajaran qona’ah, menjadi salah satu pegangan yang sebisa mungkin diamalkan dalam kehidupan.
Ketatnya peraturan yang ada dalam pesantren bagi kebanyakan orang dipandang sebagi siksaan berat. Namun bagi sebagian lain, hal itu menjadi keuntungan tersendiri. Dengan adanya peraturan yang ketat, mau tidak mau dirinya harus selalu berusaha menyesuaikan diri dan berusaha untuk tidak melanggarnya. Aturan-aturan itu juga tidak dirasa sebagai beban karena pada dasarnya semua aturan adalah untuk hal yang benar. Dan ketika suatu saat terpaksa melanggar dan harus menerima sanksi, maka hal itu diterimanya dengan ikhlas, karena dirinya percaya, dengan hukuman yang diterimanya, kesalahan dan dosanya diampuni. Tidak aneh jika banyak santri yang bahkan dengan suka rela menyerahkan diri untuk dihukum meskipun tidak melakukan pelanggaran.
Keadaan pesantren yang secara sepintas memberatkan namun pada kenyataannya penuh dengan nilai-nilai kebaikan inilah yang membuat pesantren mendapat label penjara suci. Dan sudah seharusnya setiap orang yang keluar darinya menjadi orang suci pula.
Namun citra pesantren yang sangat baik tadi saat ini mulai terkikis. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata membawa efek-efek negatif yang sedikit banyak ikut mempengaruhi kesucian pesantren. Nilai-nilai luar yang tidak islami berusaha menyusup kedalam dan sedikit demi sedikit menggerogoti kuatnya pondasi nilai-nilai pesantren. Berbeda dengan budaya baru yang positif -seperti misalnya budaya berpikir kritis sehingga tidak taqlid buta pada kyai atau saklek pada kitab tertentu– nilai-nilai yang negatif semakin lama akan menurunkan image pesantren di mata masyarakat. Dan semakin lama pesantren akan dicap negatif dan tidak lagi mendapat kepercayaan dari masyarakat. Ketledoran-ketledoran dari perilaku dan budaya para santri akibat terlena dengan jargon kebebasan dan hak asasi manusia sering menjadi penyebab miringnya nama pesantren. Selain itu fanatisme yang berlebihan seperti dipraktekkan para kaum fundamentalis yang mengaku sebagai warga pesantren ikut memperburuk nama pesantren di masyarakat. Penanaman kembali pemahaman ajaran agama yang benar menjadi sangat penting dilakukan terutama sekali oleh pengasuh, para ustadz, dan pengurus yang antara lain melalui sistem peraturan yang dijalankan. Sehingga munculnya pemahaman dan praktek yang terlalu ekstrem kanan dengan fundamentalisme yang dibawanya dan yang terlalu ekstrem kiri dengan semangat kebebasannya dapat diminimalisir. Tugas kita semua sebagai yang mengaku muslim untuk berusaha menciptakan yang terbaik, bagi diri kita dan dunia jika memang mampu, dengan dimulai dari melahirkan kesadaran untuk menjadi muslim yang kaffah. Saat ini, di sini, dan esok dimanapun kita berada.
Tidak berlebihan jika kita disini sebagai bagian warga pesantren mendambakan pesantren kita menjadi salah satu dari penjara-penjara suci yang mampu menyalakan kembali cahaya Islam di tengah-tengah kondisi dunia yang semakin gelap akibat perilaku manusia yang mulai melupakan Penciptanya. Sehingga ketika ditanyakan, dimana penjara suci itu kini, yang dulu mampu melahirkan manusia-manusia pilihan? Maka jawabannya di sini, di “Darussalam”. Hayya nata ammal.
Wallohu a’lam.

ibda' binafsik


“Siapa yang ingin merubah dunia, rubahlah dirinya sendiri terlebih dahulu"
(Socrates)

Setiap orang yang memiliki pemahaman yang jernih tidak akan menyangkal ada makna yang begitu besar dari ungkapan yang dikatakan oleh Socrates di atas. Berbeda jika yang membacanya adalah orang yang berjiwa acuh apalagi pesimistis, kata-kata diatas hanya akan dilihat sepintas lalu dan tidak akan berarti apa-apa. Bahkan tidak jarang yang muncul hanya kata-kata “ah, cuma teori ...”. Mudah-mudahan kita tidak termasuk kelompok yang terakhir ini. Artinya bahwa kita bukan termasuk mereka yang bersikap masa bodoh dan sama sekali tidak peduli dengan ungkapan yang sesungguhnya memiliki pengaruh yang begitu besar. Banyak hal luar biasa dalam sejarah kehidupan manusia yang muncul sebagai pengaruh dari sebuah ungkapan karena ia benar-benar diyakini dan menjadi ideologi yang mengakar kuat dalam suatu masyarakat. Setiap kata dalam sebuah ungkapan dapat menjadi mesin penggerak yang sangat kuat atau sebaliknya tidak berarti apa-apa tergantung subyek yang menerimanya.
Siapa yang ingin merubah dunia, rubahlah dirinya sendiri dulu. Dari kata-kata ini kita dapat mengambil pemahaman tentang sebuah anjuran bahkan bisa dikatakan sebuah keharusan adanya suatu usaha yang radikal, yakni untuk melakukan segala sesuatu dimulai dari unsur yang terkecil dan paling mendasar, yakni diri sendiri. Utnuk merubah sesuatu yang besar dengan berbagai sisi dan unsur-unsur yang kompleks, tentu tidak akan semudah kita membalikkan telapak tangan. Bahkan untuk menyusun teori dan metodenya saja kita mungkin harus bekeja keras. Dan semua itu mengharuskan kita untuk memulainya dari diri kita sendiri, karena kitalah yang akan melakukan usaha tersebut. Bagaimana mungkin kita menghendaki suatu perubahan yang berhasil tanpa diri kita sendiri siap dan benar-benar matang dari segi kesiapan dan potensi kita. Saya rasa ungkapan Nabi yang selanjutnya dibakukan sebagai salah satu formulasi kaidah fikih “innamal a’malu binniyat” sangat relevan dengan topik yang sedang kita bahas ini. Kemantapan niat menjadi penentu setiap usaha-usaha selanjutnya karena dari sanalah tujuan dan langkah diarahkan. Bahkan secara ajaib berbagai halangan yang mungkin menghadang tidak jarang dapat disingkirkan dengan kekuatan tekad dan semangat yang kokoh.
Dari segi moral ungkapan diatas bisa kita maknai bahwa seyogyanya ketika kita menginginkan suatu perubahan yang baik pada suatu keadaan, maka terlebih dahulu diri kita sendiri yang harus dirubah untuk menjadi lebih baik. Sanat ironis ketika kita mendambakan suatu kondisi yang ideal dan dengan menggebu-gebu kita perjuangkan bahkan tidak ketinggalan kita lengkapi dengan serangan kritik dan hujatan, justru diri kita sendiri bertolak belakan dan sangat jauh dari nilai-nilai yang kita gembor-gemborkan. Secara sederhana dapat kita ibaratkan, bagaimana seseorang ingin semua orang menjaga kebersihan agar lingkungannya sehat sementara dirinya sendiri senang membuang sampah sembarangan, bagaimana seseorang menginginkan masyarakatnya hidup rukun dan damai sementara dirinya sendiri tidak mau menghargai orang lain, dan lain-lainnya. Allah dengan jelas telah memperingatkan bahkan mengancam orang-orang yang berperilaku seperti ini.
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Dari sini tentunya pikiran kita sedikit terbuka untuk benar-benar memperhatikan diri kita sendiri sebelum kita melangkah dengan setiap usaha kita, sebaik apapun usaha kita jika tidak kita awali dengan memperbaiki diri kita terlebih dahulu, maka usaha kita akan sia-sia dan jangan mengharapkan keberhasilan. Andaikata berhasilpun hasil yang kita peroleh akan sangat kering dari nilai dan jauh dari ridho dari sang pencipta.###

KAIFA TAKUNU INSANAN KAMILAN?

Kenalilah Tuhanmu yang menciptakanmu dan dekatkan hatimu kepadaNYA, semakin dekat hatimu kepadaNYA semakin sejati dirimu.

what do u think about my blog?